KUNINGAN (MASS) – Menurunkan angka kemiskinan adalah agenda prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN 2005-2025). Agenda Pembangunan Milenium ini menjadi selaras, dimana 189 negara mengadopsi kesepakatan tersebut dan lahir dari kesepakatan 147 kepala pemerintahan dan kepala negara pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Millenium di New York, September 2000.
Deklarasi ini diberi tajuk “Tujuan Pembangunan Millenium” (Millenium Development Goals – MDGs), yang terdiri dari 8 tujuan: (1) Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan ekstrim; (2) Mewujudkan pendidikan dasar untuk semua; (3) Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan (4) Menurunkan angka kematian anak; (5) Meningkatkan kesehatan ibu hamil; (6) Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya; (7) Memastikan kelestarian lingkungan; dan (8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. Target kualitatif dan kuantitatif diukur menjadi delapan tujuan utama, mulai tahun 1990 dan diharapkan tercapai pada tahun 2015 (BPS dan UNICEF, 2009).
Pendekatan dalam penanggulangan kemiskinan selama ini dinilai masih banyak kekurangan, diantaranya: pertama, masih berorientasi pada aspek ekonomi daripada aspek lain kemiskinan multidimensional; kedua, lebih bernuansa karitatif (bantuan sosial) daripada produktivitas; ketiga, tidak memposisikan masyarakat miskin sebagai subjek tapi objek; keempat, pemerintah masih harus menjadi penguasa dengan program terpusat yang seragam, top- down sehingga ada keselarasan program dalam pelaksanaannya) daripada hanya sekedar menjadi fasilitator.
Wajah kemiskinan yang multidimensional memerlukan pendekatan yang seimbang antara ekonomi dan non ekonomi. Dengan kata lain, prioritas pada pemenuhan kebutuhan pokok memang perlu, namun perlu juga faktor non teknis mendapatkan perhatian dalam pengentasan kemiskinan. Dalam pengentasan kemiskinan perlu strategi yang terarah dan mampu mengikis nilai-nilai budaya yang negatif seperti apolitis, fatalistik, apatis, merasa tidak berdaya, dan lain-lain (Huraerah, 2005).
Kajian-kajian yang membahas tentang hambatan-hambatan budaya dalam penanggu-langan kemiskinan belum banyak dilakukan. Padahal, faktor kultural (budaya) memiliki andil yang relatif seimbang dengan faktor struktural sebagai penyebab kemiskinan di Indonesia. Budaya kemiskinan menjadi penting untuk dilakukan pengkajiannya mengingat program anti kemiskinan lebih efektif digulirkan jika sejalan dengan budaya yang berlaku di masyarakat melalui pendayagunaan potensi, sumberdaya dan budaya yang berdasarkan pada kearifan lokal penduduknya (Royat, 2007).
Oscar Lewis mengidentifikasi budaya kemiskinan merupakan suatu adaptasi atau penyesuaian dan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka dalam masyarakat yang berstrata kelas, sangat individualistis berciri kapitalistik, yang kemungkinan besar dimiliki oleh kelompok masyarakat yang berstrata rendah dan mengalami guncangan yang hebat dikarenakan terjadinya perubahan sosial yang drastis dan bersifat tiba-tiba. (Lewis, 1959). Budaya kemiskinan ini dijalankan dan dilakukan secara turun-temurun antar generasi, sehingga menghambat kelompok tersebut untuk keluar dari garis kemiskinan, dan ini menjadi ciri-ciri yang khas dari masyarakat yang memiliki budaya kemiskinan.
Masalah kemiskinan dalam sudut pandang kultural (budaya) bukan hanya terkait dengan masalah kelangkaan sumber-sumber ekonomi, ketidakadilan distribusi sarana produksi, atau dominasi akses modal finansial oleh golongan tertentu saja. Di samping kendala struktural, masalah kemiskinan menyangkut sikap mental, pola perilaku, dan pilihan sikap yang berasal dari state of mind (pola pikir dan sikap mental) yang tak mampu berjalan beriringan dengan semangat perubahan, kemajuan, dan peningkatan status serta kualitas kehidupan. Kajian antropologi pembangunan memunculkan sebuah ungkapan: “poverty is a state of willingness rather than scarcity” (kemiskinan lebih pada masalah kemauan daripada kelangkaan sumber daya).
Tantangan paling berat dalam upaya penanggulangan kemiskinan adalah ada pada kemampuan pemerintah mengubah budaya masyarakat yang lekat dengan kemiskinan, atau Oscar Lewis menyebutnya sebagai Culture of Poverty (budaya kemiskinan). Lewis memberi penegasan tentang budaya kemiskinan (Suparlan, 1984): “Lebih mudah menghapuskan kemiskinan daripada budaya kemiskinan.”
Menurut Lewis, Culture of Poverty bisa dimaknai sebagai suatu sub-kebudayaan hasil adaptasi dan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka dimana kebudayaan tersebut cenderung melanggengkan dirinya dari generasi ke generasi. Kebudayaan tersebut mencerminkan upaya mengatasi keputusasaan dari keinginan untuk sukses di dalam kehidupan sesuai dengan nilai dan tujuan masyarakat yang lebih luas. Ia berpandangan bahwa kemiskinan bukan hanya masalah kelumpuhan ekonomi, disorganisasi atau kelangkaan sumber daya, melainkan muncul sebagai sikap mental yang kurang mampu mengikuti perubahan.
Pemaknaan atas budaya kemiskinan di Indonesia pada era sekarang ini berkaitan erat dengan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan. Pemberian berbagai program bantuan sosial yang bersifat charity sesungguhnya benar-benar ditujukan bagi orang miskin agar terpenuhi hak-hak dasarnya dan menjadi lebih berdaya lepas dari budaya kemiskinan yang membelenggu mereka. Namun, pilihan kebijakan penanggulangan kemiskinan semacam ini ternyata memunculkan fenomena baru tentang budaya kemiskinan.
Sugeng Harianto (2015) dalam sebuah penelitian di Jawa Timur menemukan fakta menarik tentang budaya kemiskinan. Program-program anti kemiskinan selama ini selain tidak efektif menurunkan jumlah orang miskin, justru memunculkan kemiskinan baru dengan adanya fenomena kalangan tertentu yang “memiskinkan diri”. Sebagian kalangan masyarakat seolah-olah berpura-pura miskin agar mendapatkan bantuan pemerintah.
Kebiasaan ini membudaya dan menjadi suatu bentuk pilihan adaptasi yang rasional dalam upaya mengatasi kemiskinan. Namun, sesungguhnya di balik itu, sikap ini merupakan bentuk kecemburuan sosial ketika merespon program-program penanggulangan kemiskinan dari pemerintah yang bersifat karitatif dan langsung. Bahkan respon ini juga dikaitkan dengan hak dan kewajiban sebagai warga negara (Harianto, 2015).
Kajian lain terhadap pengaruh nilai-nilai budaya terhadap kemiskinan diantaranya dilakukan oleh antropolog terkemuka Indonesia, Koentjaraningrat. Ia menyebut beberapa budaya kemiskinan sebagai mentalitas yang berkembang dalam masyarakat Indonesia, seperti masyarakat yang pasrah dengan keadaannya (nrimo ing pandum) dan menganggap bahwa mereka miskin karena faktor keturunan, yang tidak bisa diubah (takdir). Beberapa mentalitas dominan bangsa Indonesia menurut Koenjtaraningrat, yaitu: (1) Meremehkan waktu; (2) Suka menerabas; (3) Tidak percaya diri; (4) Tidak disiplin; (5) Suka mengorbankan tanggung jawab (Koentjaraningrat, 1983).
Beberapa karakter nilai budaya yang diungkapkan para ilmuwan sosial tersebut perlu dimaknai ulang dalam era modern sekarang ini. Mengatasi budaya yang dominan itu, perlu diciptakan “budaya tanding”, yaitu memunculkan sebagian dari populasi suatu masyarakat yang secara kuat menganut atau memeluk satu atau lebih nilai-nilai budaya yang berbeda dengan nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan yang dominan (Sujono, 2013).
Budaya tanding dalam konteks nilai-nilai budaya kemiskinan, bisa dimunculkan beberapa di antaranya: (1) Budaya hipokrit dilawan dengan budaya jujur dan lugas; (2) Budaya feodal dilawan dengan budaya egaliter; (3) Budaya meremehkan waktu dilawan dengan budaya menghargai waktu (time is money); (4) Budaya suka menerabas dilawan dengan budaya antri; (5) Budaya ceroboh dilawan dengan budaya disiplin. Beberapa nilai budaya ini bisa menjadi bekal awal pemahaman akan potensi nilai-nilai budaya yang lebih progresif mendorong kemajuan.
Upaya penanggulangan kemiskinan lebih bernilai strategis dengan melibatkan keluarga miskin dan komunitasnya untuk secara mandiri mengatasi masalah berangkat dari potensi wilayah dan budaya lokal yang mereka miliki. Pemaknaan ulang atas nilai-nilai budaya dalam masyarakat bisa dimulai dari identifikasi atas potensi lokal yang selaras dengan semangat pemberdayaan masyarakat. Input dari luar yang masuk dalam proses pemberdayaan harus mengacu pada kebutuhan dan desain aksi yang dibuat oleh keluarga miskin itu sendiri bersama komunitasnya. Proses ini dilakukan melalui dialog yang produktif agar sesuai dengan konteks potensi wilayah dan budaya lokal masyarakat setempat.
Kegiatan Registrasi Sosial Ekonomi tahun 2022
Kegiatan ini dengan tujuan mencatat untuk membangun negeri; Satu Data Program Perlindungan Sosial dan Pemberdayaan Masyaratat. Kegiatan yang ditujukan untuk melakukan pendataan terkait kondisi sosial ekonomi penduduk / rumahtangga secara menyeluruh di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kegiatan pendataannya akan dilakukan pada bulan Oktober sd Nopember 2022.
Butuh kejujuran dari setiap pelakunya, baik petugas dan responden kegiatan Regsosek ini. Tanpa kejujuran dari ke dua pihak tersebut terutama responden (notabene adalah rumahtangga) di wilayah NKRI tentunya akan sangat sulit bagi negara / pemerintah untuk melakukan program yang dapat dan mampu menciptakan perlindungan sosial yang baik dan pemberdayaan masyarakat yang berhasil guna.
Kepada seluruh warga Negara Kesatuan Republik Indonesia di manapun berada dimohon perkenannya untuk dapat memberikan jawaban yang jujur dan sesuai dengan realitasnya. Sukses Regsosek menjadi awal sukses dari program perlindungan sosial di negeri kita tercinta.
Written by : Asep Hermansyah, S.ST
Statistisi Ahli Muda, di BPS Kabupaten Kuningan